07 May, 2009

Jawaban atas Kesalahpahaman terhadap Penamaan Salafi

Maktabah Raudhah al-Muhibbin
Judul Asli : Answer to Common Misconceptions on Naming with
Salafiyyah
Sumber : http://www.salafipublications.com
Article ID : SLF010007
Judul Terjemahan : Jawaban atas Kesalahpahaman terhadap Penamaan
Salafi
Alih Bahasa : Ummu Abdullah
Desain Sampul : Ummu Abdullah
Disebarluaskan melalui:
Maktabah Raudhah al-Muhibbin
Website:
http://www.raudhatulmuhibbin.org
e-Mail: raudhatul.muhibbin@yahoo.co.id
Juli, 2008
Buku ini adalah online e-Book dari Maktabah
Raudhah al Muhibbin yang diterjemahkan dari
artikel www.salafipublications.com sebagaimana
aslinya, dengan penambahan sebagian tanpa
merubah maknanya. Diperbolehkan untuk
menyebarluaskannya dalam bentuk apapun,
selama tidak untuk tujuan komersil

1
Jawaban Atas Kesalahpamahan
Terhadap Penamaan “Salafi”

Ada banyak keraguan seringkali tersebar dengan penamaan Salafiyyah dan kata
“Salafi”, sebagian datang dari orang-orang yang tulus, berdasarkan apa yang
mereka alami dan di saat lain datang dari orang-orang jahat, yang ingin
menimpakan hukuman terhadap dakwah kebenaran, melihatnya jatuh, dan
menggantinya denga seruan dan halusinasi kebid’ahan dari pikiran mereka.
1. Pemberian label “Salafiyyah” adalah Bid’ah
Kata “Salafiyyah” tidak diterapkan di zaman Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam dan para sahabatnya radiallahu anhuma jami’an, hal ini disebabkan
karena Muslim pada saat itu berada diatas ajaran Islam yang benar dan tidak
ada kebutuhan untuk kata seperti “Salafiyyah” pada saat itu. Namun demikian,
manakala banyak godaan datang dan golongan-golongan berkembang dan umat
berpecah belah, para pemimpin umat (ulama) berdiri untuk memisahkan mereka
yang berada pada kebenaran dan umat yang berada pada kesesatan, dan
selanjutnya mereka menamakannya “Ahlul Hadits” dan “As-Salaf”.
Abu Hanifah (wafat 150H) (rahimahullah) berkata, “Ikuti atsar (riwayat) dan
tarikat (jalan) para salaf (para pendahulu yang shaleh) dan berhati-hatilah
terhadap hal-hal yang diada-adakan karena keseluruhannya adalah bid’ah.
(Diriwayatkan oleh As-Suyuti dalam Sawn Al-Mantiq wal Qalam hal. 32).
Berdasarkan hal tersebut, “As-Salafiyyah” memisahkan dari semua golongan
dalam Islam berkaitan dengan penisbatan mereka terhadap apa yang menjamin
bagi mereka sebagai Islam yang benar dan sejati, yang merupakan ketaatan
terhadap apa yang Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya
berada di atasnya, yang terdapat dalam haditsh yang shahih.
Selain daripada itu, kata “Salaf” telah digunakan oleh Nabi sallallahu alaihi
wasallam. Beliau berkata kepada Fatimah “Sebaik-baik salaf adalah aku
bagimu.” (HR Muslim no. 2450).

Imam Muslim mengemukakan dalam mukadimah kitab shahih-nya (hal. 16)
perkataan Abdullah Ibnu Al-Mubarak – yang akan dia katakan di hadapan orang
banyak, “Abaikan hadits dari Amr bin Thaabit, karena ia melecehkan Salaf.”
Syaikh Salih Al-Fauzan berkata: “Bagaimana bisa menjadikan salaf sebagai
madzhab merupakan bid’ah, sebuah bid’ah yang sesat? Dan bagaimana
mungkin itu adalah bid’ah manakala itu hanyalah mengikuti mazhab
salafush shaleh, dan mengikuti madzhab mereka adalah wajib menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah, dan merupakan petunjuk yang benar?” (Al-Bayan,
hal. 156).
Karena itu, menisbatkan diri kepada Salaf, yakni Salafiyyah bukanlah merupakan
bid’ah, melainkan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk mengikuti
manhaj dan aqidah Salaf. Dapat dikatakan: “Jika penamaan Salafiyyah
merupakan bid’ah, maka demikian juga terhadap penamaan Ahlus Sunnah wal
Jamaah”. Dan tujuan dibalik penggunaan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah
bukannya tersembunyi atau tidak dikenal. Sayangnya, Ahlus Sunnah wal
Jamaah tidak lagi cukup untuk membedakan orang-orang yang sesat dan orangorang
yang benar. Bahkan kata “Salafi” tidak membedakan antara Salafi yang
benar, mereka yang benar-benar Salafi dalam akidah dan manhajnya dengan
hizbiyun yang memakai pakaian Salafiyyah, dan mengkalim dirinya sebagai
Salafi. Akidahnya mungkin Salafi, tetapi cara berpikirnya dicermari oleh Qutubi
ataupun prinsip-prinsip, ide, cara berpikir dan bertingkah laku hizbi. Dia akan
menunjukkan permusuhan kepada Salafi, mengolok-olok para Masyaikh, namun
tetap mengklaim di atas jalan salaf. Padahal sudut pandang yang mereka ambil
dan posisi yang mereka pegang, kesetiaan dan penolakan mereka menunjukkan
hal sebaliknya. Hal ini menyebabkan Salafi yang benar menekankan betapa
pentingnya belajar dan menimba ilmu agar yang benar terlihat jelas bagi mereka
dan orang-orang bodoh yang berpura-pura tidak dapat membodohi mereka.
2) Allah telah menamakan kita Muslim, lalu mengapa menisbatkan diri
kepada Salaf?
Keraguan ini telah dijawab dengan sangat indah oleh Imam Al-Albani dalam
diskusinya dengan seseorang pada topik ini, direkam dalam kaset dengan judul
“Saya Salafi” (Ana Salafi), dan berikut adalah pemaparan bagian penting dari
diskusi tersebut.
Syaikh Al-Albani: “Jika ditanyakan kepadamu, “Apa madzhabmu?”, apa
jawaban anda?”
Penanya: “Saya seorang Muslim”
Syaikh Al-Albani: “Itu tidak cukup.”

Penanya: “Allah telah menamakan kita Muslim, “dan dia membacakan ayat Allah
Subhanahu Wata’ala. “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu. “ (QS Al-Hajj [22] : 78)
Syaikh Al-Albani: “Ini akan merupakan jawaban yang benar jika kita berada
pada masa paling awal (Islam) sebelum golongan-golongan bermunculan dan
tersebar. Akan tetapi jika kita bertanya, saat ini, kepada setiap Muslim dari
golongan-golongan ini yang mana kita berbeda dengannya dalam hal akidah,
jawabannya tidak akan berbeda dari kata ini (muslim- pent). Semuanya, Syiah
Rafidhah, Khawarij, Nusayri Alwi – akan berkata, “Saya seorang Muslim.”
Karenanya hal itu tidak lagi cukup untuk masa sekaang ini.”
Penanya: “Jika demikian saya akan menanjawab, Saya seorang Muslim yang
mengikuti Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh Albani: “Ini pun tidak cukup.”
Penanya: “Mengapa?”
Syaikh Albani: “Apakah anda menemukan siapa saja diantara contoh yang
telah kita sebutkan tadi berkata “Saya seorang Muslim yang tidak berpegang
kepada Al-Qur’an dan Sunnah?” Siapa diantara mereka yang berkata, “Saya
tidak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah?”
Pada point ini, Syaikh mulai menjelaskan secara rinci mengenai pentingnya
berpegang terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman para
salafush-shaleh.
(Oleh karena dalam artikel terjemahan tidak terdapat penjelasan Syaikh Albani,
berikut ini kami nukilkan jawaban Syaikh Albani dalam majalah Al-Asaala edisi
9/Th.II/15 Sya’ban 1414 H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419
H- 1999, yang dapat anda buka di arsip milis assunnah).
Mengapa Harus Salafi…?
Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah, adalah sebagai berkut:
“Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah
Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam?”
Jawaban beliau adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya kata “As-Salaf” sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab
maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek
syari’atnya/ Dalam riyawat yang shahi, ketika menjelang wafat, Rasulullah 
berdabda kepada Fatimah radhiallahu anha:

“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya sebaik-baik “As-
Salaf” bagimu adalah Aku>”
Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah “As-
Salaf”. Satu contoh penggunaan “As-Salaf” yang mereka biasa pakai dalam
bentuk syair untuk menumpas bid’ah:
“Dalam setiap kebaikan terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf.
Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang
Khalaf”
Namun ada pula orang yang mengaku berilmu mengingakari nisbat
(penyandaran diri) pada istilah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal
tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata: “Seorang Muslim tidak boleh
mengatakan “saya salafi”. Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa
seroang Muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah,
ibadah ataupun akhlak.
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya)
membawa konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang
oleh para Salafuh Shalih yang dipimpin oleh Rasulullah , sebagaimana sabda
Rasulullah:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian
sesudahnya.” (HR Bukhari Muslim)
Maka tidak boleh seorang Muslim berlepas diri (bara) dari penyandaran kepada
Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang Muslim melepaskan diri dari
penyandaran apapun selain Salafus Shalih tidak akan mungkin seorang ahli ilmu
pun menisbatkan kepada kekafiran atau kefasikan.
Orang yang mengingkari isitlah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada
suatu madzhab, baik secara aqidah atau fikih? Bisa jadi ia seorang Asy’ari,
Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hambali semata masih masuk
dalam sebutan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy’ari dan pengikut
madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak
maksud. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa
penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak
diingkari?
Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri
kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum, Rasul
telah mendeskripsikan tanda-tanda Firqah Najiyah yaitu komitmennya dalam
memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang
berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada di atas
petunjuk Allah Azza wa Jalla.
Salafiyyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan
menuju “Firqah Najiyah”. Dan hal ini tidak akan didapatkan bagi orang yang
menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain
Salafiyyah tidak akan terlepas dari dua perkara:
• Pertsama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum,
• Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj
pribadi yang tidak maksum.
Jadi tidak terjaga dari kesalahan ini, dan ini berbedan dengan ISHMAH para
sahabat Nabi , yang mana Nabi  memerintahkan supaya kita berpegang
teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.
Kita tetap harus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-
Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap
dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun
menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa fondasi dari Al-Kitab dan
As-Sunnah.
Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup?
Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar’i dan
fenomena jama’ah Islamiyah yang ada.
Berkenaan dengan sebab yang pertama
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk mentaati hal lain
disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian” (QS An-nisa : 59)

Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati
seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang
muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib
untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi
syarat yang sudah dikenal, yaitu:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk didalam bermaksiat kepada Allah Tabaraka
Wata’ala.” (HR Ahmad, lihat Ash-Shahihah No. 179)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukminin, Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan
dia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS
An-Nisa : 115)
Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan
SABILUL MUKMININ (Jalan kaum Mukminin) pasti mengandung hikmah dan
manfaat yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar
ittiba kita kepada Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman
generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan
ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat.
Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman:
J 'T =  C 1 .!!U" 
“Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar.” (QS At-
Taubah:199)
Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus
Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.
Adapun berkenaan dengan sebab kedua

Bahwa kelompok-kelompok dan golonga-golongan umat Islam sekarang ini
sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum Mukminin yang
telah disinggung di ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.
Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan,
semua masuk neraka kecuali satu. Rasulullah mendeskripsikannya sebagai
Artinya: “Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para
sahabatku hari ini.”
Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum Mukminin.
Diantara hadits yang juga senada maknanya adalah hadits Irbadh bin Sariyah,
yang di dalamnya memuat:
Artinya: “Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sepeninggalku”
Jadi disana ada dua sunnah yang harus diikuti: Sunnah Rasulullah dan sunnah
Khulafaur Rasyidin.
Menjadi keharusan atas kita – generasi mutaakhirin – untuk merujuk kepada Al-
Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum Mukminin. Kita tidak boleh berkata: “Kami
mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus
Shalih.”
Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan
batil di zaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan: “Saya seorang
Muslim (saja) atau bermadzab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku
demikian. Baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah Khawarij), Ahmadiyah dan
yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka?
Kalau kita berkata: “Saya seorang Muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-
Sunnah, ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim
ittiba’ terhadap keduanya.
Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok
sempalan adalah ungkapan: “Saya seorang Muslim yang konsisten dengan Al-
Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf:, atau disingkat “Saya Salafi.”
Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj
Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman,
pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.
Kita paham para sahabat tidak berta’ashub kepada madzhab atau individu
tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari,
Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila
seorang diantara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umarr atau Abu

Hurairah, maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh
memurnikan ittiba’ kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah , yang tidak
berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang
diwahyukan.
Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya
menyebut diri sebagai Muslimin saja tanpa penyadaran kepada Salaf, padahal
manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka
(pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan
madzhab atau nama-nama tarekat mereka? Padahal sebutan itu tidak syar’i dan
salah..!?
Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu musta’an.
Demikianlah jawaban kami, istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau
ta’asub pada kelompok tertentu. Tetapi menunjukkan komitmennya untuk
mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
(Melanjutkan dialog di atas…..)
Penanya: “Jika demikian Saya adalah seorang Muslim yang mengikuti Al-Qur’an
dan Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shaleh.”
Syaikh Albani: “Jika seseorang bertanya kepadamu, apa madzhabmu, apakah
ini yang akan anda katakan kepadanya?”
Penanya: “Ya.”
Syaikh Albani: “Bagaimana pendapat anda jika kita menyingkat kalimat itu,
karena kata-kata yang terbaik adalah kata-kata yang sedikit tetapi
menggambarka tujuan yang diinginkan, “Salafi”?” Akhir kutipan.
Karena itu pada intinya penamaan “Muslim” atau “Sunni” tidaklah mencukupi,
karena semua orang akan mengakuinya. Dan Imam Al-Albani menekankan
pentingnya kebenaran dipisahkan dari kebatilan – dari sudut pandang
berdasarkan manhaj dan akidah yang diambil dari pemahaman Salafush-Shalih,
sebagai penentangan terhadap berbagai aliran dan kelompok yang
pemahamannya didasarkan pada guru-guru dan pemimpinnya dan bukannya
pada Salaf, secara mendasar.

3. Memanggil seseorang Salafi merupakan Tazkiah Tercela terhadap diri
seseorang
Dan keraguan ini telah dibantah oleh Masyaikh kami Al-Allamah Abdul Aziz Bin
Baz - (mantan) Mufti Arab Saudi ditanya, “Apa yang anda katakan mengenai
seseorang yang menyebut dirinya “Salafi” atau “Atsari” Apakah ini merupakan
tazkiah (pensucian) diri? Beliau –semoga Allah merahmatinya- menjawab,
“Bilamana dia benar (dalam pengakuannya) bahwa dia seorang Salafi atau
Atsari maka tidak ada kesalahan di dalamnya, (ini) serupa dengan apa yang
disebut para Salaf, “Ini dan itu adalah Salafi, Ini dan itu adalah Atsari.” Ini adalah
tazkiah (pujian) yang diperlukan, bentuk tazkiah yang diwajibkan.” (kaset:
Haqq ul-Muslim 16/1/1413 Ta’if)
Syaikh Al-Fauzan ditanya, “Apakah seseorang yang menyebut dirinya
“Salafi” dipandang telah menetapkan hizbi?” Beliau menjawab. “Tidak ada
salahnya seseorang menyebut dirinya dengan Salafiyyah apabila hal
tersebut benar. Namun demikian, apabila hal tersebut hanyalah sekedar
pengakuan, maka tidak diperbolehkan seseorang untuk menamakan dirinya
Salafiyyah, manakala ia berdiri di atas manhaj selain Salaf.” (Al-Ajwibah al-
Mufidah hal.16).
Dan bagi mereka yang berniat untuk mengecilkan hati orang lain yang
menisbatkan diri kepada Salaf dan menuding bahwa hal tersebut adalah suatu
bentuk tazkiah (pensucian diri) maka tipu daya mereka tidak tersembunyi dari
kami. Bahkan Syaikhul Islam telah membantah hal ini sejak beberapa abad yang
lalu dan menjadikannya suatu kewajiban untuk menerima penisbatan seseorang
kepada Salaf – dan memegangnya dengan persetujuan penuh – karena akidah
dan manhaj Salaf tidak lain adalah kebenaran. Namun jika yang terjadi adalah
manhaj mereka (yang membuat pengakuan palsu) telah tercemar, maka tidak
mengherankan kalau mereka menginginkan orang-orang untuk melepaskan diri
dari Salaf – karena hanya dengan cara itulah kebohongan mereka tidak
diketahui.
4. Salafiyyah menyebabkan perpecahan
Manakala Salafiyyah merupakan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah
berdasarkan pemahaman Salaful-Ummah dan Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam menyatakan, “Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan,
semuanya di neraka kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapakah yang satu
golongan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka yang berada di atas
apa yang aku dan para sahabatku berada pada hari ini.” (HR Tirmdizi no. 2463)
– dan juga bilamana kasusnya bahwa perpecahan timbul dari pengabaian
mereka terhadap pemahaman yang benar, maka Salafiyyah tidak lain adalah
langkah kedepan untuk penyatuan dan bukannya memecah belah atau
bergolong-golongan. Asy-Syaikh Shaleh Al-Fauzan berkata, “As-Salafiyyah
(yakni Salafi) adalah golongan yang selamat, mereka adalah Ahlus Sunnah wal
Jamaah.

Salafiyyah bukanlah hizbi (partai) diantara berbagai ragam partai,
sebagaimana “partai-partai” yang kita kenal pada hari ini… Karenanya Salafiyyah
adalah sekelompok orang (yakni Salafi) di atas madzhab Salaf, mengikuti apa
yang Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada di
atasnya dan bukanlah hizbi dari sekian banyak kelompok zaman sekarang yang
ada pada hari ini.” (Kaset “at-Tahdeer min al Bid’ah” kaset kedua, dibawakan
sebagai mata pelajaran pada Hawtah Sadeer, 1416 H).
Dengan demikian, Salafiyyah adalah merupakan perjuwudan dari apa yang Nabi
sallallahu alaihi wasallam tinggalkan untuk umatnya, yang malamnya seperti
siang, jelas kemurniannya, dan siapapun yang memisahkan diri darinya akan
binasa, yakni, akan memasuki perpecahan, perbedaan dan masuk kepada
golongan-golongan yang terancam neraka. Oleh karena itu, Salafiyyah yang
mengajak untuk kembali kepada apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan
para sahabatnya berada di atasnya tidak dapat dikatakan sebagai perpecahan.
5. Salafi menganggap bahwa hanya merekalah yang benar
Kita harus membedakan antara apa yang dinisbatkan kepadanya –yang
merupakan jalan para Salaf- dan seseorang yang menisbatkan diri kepadanya.
Secara mutlak, apa yang dinisbatkan kepadanya, yakni jalan Salaf, tidak lain
adalah pengejawantahan kebenaran, dalam pengertian umum dan spesifik,
dalam aqidah dan manhaj, ushul dan furu’, dan tidak seorang pun menolak atau
mengingkarinya melestarikan bid’ah.
Bagi seseorang yang menisbatkan dirinya kepada jalan Salafi, maka dalam
dasar dari penisbatannya – yang mana hal itu tidak mungkin salah – maka ia
benar dalam hal itu, dan apa yang menjadi kebalikannya, tidak lain adalah
kesalahan dan kesesatan. Yang dimaksud disini adalah dari sudut pandang
aqidah dan manhaj agama secara umum. Hal ini karena aqidah dan manhaj dan
ushul para Salaf dari semua generasi adalah sama dan mereka bersatu di
atasnya.
Karenanya, seorang Salafi dan benar dalam penisbatannya kepada Salaf yang
berjalan di atas pengetahuan dan amalan, mengikuti jalan mereka, maka dia
benar dalam hal tersebut, insya Allah. Dan orang ini akan mengetahui jalan para
Salaf dalam pengertian umum dan ia mengetahui bahwa itu benar, meskipun dia
mungkin lalai dalam beberapa hal tertentu, namun ia tetap benar dalam
menetapi jalan mereka – dan arahnya dalam mengikuti mereka – adalah
kebenaran dan apapun yang bertentangan dengannya, adalah kedustaan. Atau
dia mungkin tahu jalan para Salaf dalam pengertian umum dan khusus, dalam
hal aqidah, manhaj, ushul dan furu’ dan ia akan benar di dalam sebagian besar
dari apa yang dia pegang dan bertindak atasnya, dan keseluruhan ini
bergantung pada keikhlasannya dalam belajar dan semangatnya dalam belajar
dan menuntut ilmu dan beramal berdasarkan ilmu tersebut.
Sebagai seorang individu, menjadi benar dalam setiap hal sampai dengan
cabang-cabangnya, dan membuat pengakuan seperti itu, maka dia salah.
Karena tidak mungkin seseorang benar dalam segala hal dalam masalah agama,
pertama-tama karena tidak mungkin baginya memiliki pengetahuan yang
menyeluruh mengenai semua hal tersebut, dan kedua, manakala para imam
terdahulu tidak mencapai hal tersebut, maka sukar kemungkinannya para
pengikutnya kemudian akan dapat mencapainya. Oleh karena itu, dalam hal-hal
cabang, akan sangat mungkin bagi Salafy melakukan kesalahan, namun hal ini
tidak menafikan kebenarannya dalam aqidah dan manhaj, dan secara umum
yang mengeluarkan dia dari tujuh puluh dua golongan bid’ah dan sesat.
Meskipun demikian, seringkali kasusnya adalah seseorang yang menisbatkan
diri kepada jalan Salaf dan menunjukkannya di atas metodoligi yang sesat,
namun dia menyatakan kekolotan dan membela aqidah dan manhaj yang benar.
Meskipun ia benar dalam aqidah, ia mungkin saja berada di atas manhaj yang
tercemar. Dalam hal ini, seseorang seperti dia tidaklah benar dalam
penisbatannya, karena dia memiliki manhaj selain manhaj para salaf, dan ini
ditentukan dengan memperhatikan: Apakah dia membela Sayid Qutub? Apakah
dia menisbatkan diri terhadap pandangan Abdur Rahman Abdul Khaliq? Apakah
dia memuja Muhammad Qutub dan mengambilnya sebagai petunjuk dan
pemimpin? Apakah dia membela dan Hasan al-Banna? Apakah dia berbicara
dengan istilah dan kata-kata ahli bid’ah, dan ungkapan-ungkapan lain yang telah
menjadi slogan para ahlul bid’ah “Al-Ummah al-Ghaibah”, “Shahab us-Sahwah,
“Tauhid Hakimiyah”, Al-Muwazanah” dan yang semisalnya yang telah menjadi
slogan para ahlul bid’ah? Karena itu mari kita amati dan perhatikan, afiliasi apa
lagi yang dia punyai, dengan siapa dia bercampur, dengan siapa dia berbicara,
buku-buku apa yang dirujuknya, dan dalam hal ini kita akan tahu orientasi
manhajnya yang sesungguhnya, dan dari sini kita bisa mengetahui apakah dia
seorang yang memaksakan diri, mengakui bermanhaj Salaf namun berada di
atas selainnya.
6. Salafi Sombong dan Berakhlak Buruk
Dan ini merupakan hal yang sangat rumit dan perlu pemikiran dan pertimbangan
hati-hati. Dalam hal berkelakuan buruk, maka ini seringkali disebabkan oleh
asuhan dan sifat seseorang, karakter dan kepribadiannya, dan itu bukanlah
menunjukkan dasar-dasar aqidah dan manhaj yang tidak lain melainkan
kebenaran. Sehingga, seseorang mungkin perlu untuk memperbaiki akhlaknya
dan berbicara dengan kebijaksanaan (inilah sunnah) dan bantahan yang baik,
sehingga dakwahnya lebih mudah diterima. Namun ini bukanlah dalih untuk
menolak keabsahan dan kebeneraan jalan Salaf dan penisbatan seseorang
kepadanya, karena hanya itulah jalan kebebasan. Karenanya kita membuat
perbedaan antara apa yang kadang-kadang ditampakkan oleh sebagian salafi
berupa prilaku yang buruk, dan apa yang menjadi dasar pemahaman manhaj
yang diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesalahan ada pada individu dan
bukan pada peletakan dasar pemahamannya. Hal yang sama dapat dikatakan
terhadap setiap Muslim, tanpa memperhatikan kesesatan metodlogi dan
keyakinan kebid’ahan dimana seseorang menisbatkan diri kepadanya, diantara
mereka ada yang berprilaku jahat dan mempunyai kebiasaan buruk. Tetapi
manhaj atau aqidah dihukumi berdasarkan persetujuan dan penentangannnya
terhadap apa yang Nabi sallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya berada
di atasnya, secara mendasar, bukanlah perbuatan orang per orang. Silahkan
merujuk penjelasan lebih lanjut sebagai berikut.

Dalam hal kesombongan, maka ini kadang-kadang muncul dari perorangan,
dalam hal mana dia tercela. Namun dalam kasus lain dia dianggap sombong,
meskipun orang tersebut tidak memiliki kesombongan melainkan hanya
mencintai kebenaran, yakin dengan kebenaran – namun ia dipahami memiliki
kesombongan oleh kawan atau lawan atau orang yang dia dakwahi. Dan
seringkali yang terjadi adalah kesombongan itu terjadi untuk kepentingan orang
yang tidak menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang yang
menisbatkan dirinya kepada aqidah dan manhaj Salafi.
Pertimbangkan, seorang Salafi mungkin mendakwahi seseorang kepada
kebenaran, dalam persoalan yang dia tahu bahwa dia benar. Dia keras dan
memaksa bahwa dia benar dan karenanya ia dituduh sombong, meskipun satusatunya
alasan dia menunjukkan prilaku tersebut adalah kecintaannya kepada
kebenaran dan berpegang kepada kebenaran. Meskipun kita dapat mengatakan
bahwa tindakannya tidak benar dan keliru dan semangat besarnya telah
mendorong dia untuk bertindak yang tidak semestinya, dapat disebabkan
kurangnya pengetahuannya atau karena kelakuan buruk. Karenanya tergantung
pada dirinya untuk memperbaiki semua hal tersebut. Jika tidak maka orang yang
didakwahinya akan berakhir dengan tidak menerima kebenaran disebabkan oleh
cara dia mendakwahkannya.
Sehingga kita katakan bahwa kesombongan terkadang diperlihatkan, dan ini
berpulang kepada setiap individu, bukannya manhaj dan aqidah dimana dia
menisbatkan dirinya. Sesungguhnya banyak dari aliran Sufi juga sombong dalam
mengakui pelepasannya dari neraka dan meminta para pengikutnya untuk
berhikmat dengan taat –berpikir bahwa mereka berada di atas orang-orang
lainnya. Dan kita dapat mengatakan hal yang sama terhadap golongan lain dari
ahlul bid’ah. Kesombongan ditemukan di mana saja, hal itu tidak berhubungan
dengan apakah aqidah dan manhajnya benar atau tidak. Namun, manhaj dan
aqidah itu sendirilah yang menjadi penentu, terhadap setiap hal apa yang para
Salaf berada di atasnya.
Kami kembali membawa anda kepada sisa diskusi antara Imam al-Albani
dengan seorang penanya sehubungan dengan “Salafiyyah”.

Penanya: [Melanjutkan dari pembicaraan terdahulu] “Baiklah, Saya akan
mengikuti dan mengatakan kepada anda: Ya (saya setuju dengan menyimpulkan
dengan penyebutan “Salafi), namun, keyakinan saya adalah apa yang telah
disebutkan terdahulu, karena hal yang pertama kali yang terpikirkan oleh
seseorang ketika dia mendengar bahwa anda adalah seorang Salafi yaitu dia
mengingat banyak dari pengalaman yang dia miliki yang melibatkan kekerasan,
segala hal yang seringkali ditampakkan oleh Salafi.
Syaikh Albani: “Anggaplah apa yang anda katakan benar. Jika anda berkata
‘Saya Muslim’, apakah seseorang tidak akan berpikir mengenai Syi’ah Rafidhah,
Druze dan Ismailii? (dan mengangguk ke arah penanya).
Penanya: “Mungkin saja. Namun demikian saya lebih memilih mengikuti ayat
yang mulia “Dia telah menamakanmu Muslim”.
Syaikh al-Albani: “Tidak akhi! Anda tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat
itu berarti bentuk Islam yang benar. Adalah penting untuk menyapa seseorang
berdasarkan tingkat pemahamannya… sehingga orang-orang akan mengerti dari
anda (ketika anda mengatakan Saya Muslim) bahwa anda sungguh-sungguh
seorang Muslim sebagaimana arti yang dikehendaki di dalam ayat tersebut
(dalam hal ini Islam yang benar). Menyangkut beberapa nasihat yang anda
sampaikan, ini bisa benar bisa tidak. Bila anda menyebutkan soal kekerasan,
maka hal ini terkadang muncul dari individu, namun hal tersebut bukanlah
merupakan perwakilan dari metodologi yang terikat pada pengetahuan dan
keyakinan. Untuk saat ini tinggalkan individu, kita sebenarnya sedang
membahas mengenai manhaj (metodologi). Hal ini disebabkan jika kita berkata
Syi’ah, atau Druze, atau Khawarij, atau Sufi, atau Mu’tazilah, apa-apa yang anda
sebutkan sebelumnya juga berlaku untuk mereka. Karenanya, hal itu bukan
merupakan topik diskusi kita. Kita meneliti nama yang memberikan bukti kepada
madhzab seseorang dan dengannya ia memuji Allah… Bukankah seluruh
sahabat adalah Muslim?
Penanya: “Tentu saja.”
Syaikh al-Albani: “Namun demikian, ada di antara mereka yang mencuri,
berzina, tetapi tidak menjadikan alasan bagi satu pun di antara mereka berkata:
“Saya bukan Muslim”, namun mereka adalah Muslim dan beriman kepada Allah,
sebagai pilihan hidup, meskipun terkadang ia menyimpang jalannya, karena dia
tidaklah ma’sum. Dan untuk alasan itulah kita –semoga Allah merahmatimu –
membicarakan mengenai sebuah kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran
kita, dan awal pijakan dalam kehidupan kita mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan agama kita yang dengannya kita mengangungkan Allah. Dan mengenai
isu bahwa si fulan dan fulan yang keras dan si fulan dan fulan yang lemah dan
terlalu lembut maka hal itu keseluruhannya adalah isu yang berbeda… Saya
berharap bahwa anda memikirkan kata ringkas ini (yakni Salafi) sehingga anda
tidak bertahan dengan kata ‘Muslim’. Dan anda tahu bahwa selamanya tidak
ada orang yang akan memahami apa yang anda maksudkan (hanya dengan
menggunakan kata ‘Muslim’). Akhir kutipan (Saya Salafi).
Dan insya Allah ini menjelaskan maksud kita dan pentingnya pembedaan yang
telah disinggung di awal dalam menjawab keraguan ini.
7. Salafi kurang Alim sedangkan Selainnya Lebih Alim dan Zuhud
Dan ini pun merupakan keraguan yang sudah terbilang lama dan telah dijawab
oleh para ulama Salaf terdahulu. Dan kami hanya akan meninggalkan anda
bersama perkataan mereka.
Ibnu Abbas (wafat tahun 68 H) berkata: “Sesungguhnya perkara yang paling
dibenci Allah adalah bid’ah.” (HR Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 4/316).
Ibnu Umar (wafat tahun 84 H) berkata: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah
sesat, meskipun orang-orang menganggapnya baik.” (Diriwayatkan oleh Abu
Shaamah no. 39)
Sufyan Ats-Tsauri (wafat tahun 161 H) berkata: “Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis
daripada perbuatan dosa, karena dosa lebih mungkin dimintakan ampun
daripadanya sedangkan bid’ah tidak dimintakan ampun daripadanya.”
(Diriwayatkan oleh Al-Lalikai no. 238).
Imam Asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) berkata: “Bahwa seseorang yang bertemu
Allah dengan semua dosa selain syirik lebih baik daripada bertemu dengan-Nya
dengan salah satu kepercayaan bid’ah.” (Diliwatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-
I’tiqad hal. 158).
Al-Laits bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) berkata: “Jika saya melihat seorang yang
dihormati berjalan di atas air saya tidak akan menerima apapun darinya.”
Sehingga Imam Asy-Syafi’i kemudian berkata: “Dia (Al-Laits) tidak mencukupi.
JIka saya melihatnya berjalan di udara saya tidak akan mengambil apapun
darinya.” (Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam ‘al-Amr bil ‘Ittiba wan-Nahii anil
Ibtida’).
Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya. “Saya melarangmu dari zina, mencuri
dan minum khamar. Namun demikian, bertemu Allah dengan salah satu dari
dosa-dosa ini lebih baik bagiku daripada kamu bertemu Allah dengan
pamahaman Amr bin Ubaid dan pengikutnya (yakni Mu’tazilah).” (Al-Ibaanah
2/466).

Said bin Jubair berkata, “Bahwa anakku mengumpulkan dosa dan maksiat yang
licik yang merupakan seorang Sunni lebih kucintai daripada ia mengumpulkan
kesetiaan dan pengagungan ahlul bid’ah” (Al-Ibanah no, 89).
Imam Al-Barbahari berkata. “Namun, jika engaku melihat seseorang yang
perbuatan dan pendapatnya hina, dia lemah, pendosa dan fasiq, namun dia
seorang yang mengikuti Sunnah, pergaulilah dia dan duduklah dengannya,
karena dosanya tidak akan membahayakanmu. Jika engaku melihat seseorang
yang berusaha sungguh-sungguh dan lama dalam beribadah, zuhud, secara
rutin beribadah, sedangkan dia adalah seorang ahlul bid’ah, jangan duduk
dengannya, jangan mendengarkan perkataannya dan jangan berjalan
bersamanya, karena saya tidak merasa aman bahwa pada akhirnya kamu akan
senang dengan caranya dan menuju kehancuran bersamanya.” (Syarhus-
Sunnah no. 149).
Imam Ahmad berkata: “Kuburan Ahlus Sunnah diantara mereka yang melakukan
dosa besar seperti kebun. Dan kuburan ahlul Bid’ah di antara mereka yang
paling taat hampa dan kosong. Pendosa dari Ahlus Sunnah adalah Aulia, dan
yang paling taat dari Ahlul Bid’ah adalah musuh Allah.” (Tabaqat ul-Hanabilah
1/184).
Pertimbangkan dengan baik, wahai Sunni, apa yang para imam terkemuka telah
tinggalkan untuk kita sebagai warisan dan peringatan. Manakala yang menjadi
masalah adalah kebid’ahan dalam aqidah dan manhaj yang menjadi sebab
perpecahan dan perbedaan, yang menuju pada munculnya golongan-golongan,
dan golongan-golongan ini telah diancam neraka, dan jika yang menjadi
persoalan juga adalah setan membuat bid’ah terlihat indah dan membuatnya
menarik untuk dijadikan petunjuk dan cahaya, maka para pelaku bid’ah dan
prinsip yang telah tercemari adalah lebih berbahaya dari pendosa dan penjahat
dari Ahlus-Sunnah. Karena engkau mengetahui kejahatanmu kemudian dan
bertobat darinya dan merubah jalanmu, namun jika kamu mengambil sebagai
teman Adnaan Ar’oor -Politisi Kutubi (the Qutubist Politician), Mohammad Qutb
–Khawarij Takfir (the Takfiri Khariji), Mohammad Suroor –Qadhi Takfir (the Takfiri
Qa’dee), Abdur-Rahmaan Abdul-Khaaliq –Pendukung pemikiran Sururi (the
Shurocrat) and Sworn Bannaawi, kemudian engkau berpikir bahwa mereka
berada diatas petunjuk dan engkau berpikir bahwa prinsip yang telah tercemar
dan metodologi bid’ah mereka adalah perwujudan kebenaran, dan engkau
berpikir bahwa prinsip-pinsip dan metodologi ini adalah pembebas umat, dan
engkau berafiliasi dengannya dan menunjukkan kesetiaan dan kepemilikan
dengannya demi mereka, maka anda akan jatuh ke dalam neraka, manakala
engkau berpikir bahwa engkau adalah seorang salafi yang mendapat petunjuk
yang benar (!!), padahal anda bukanlah apa-apa melainkan seorang hizbi
(pengikut aliran) diantara golongan-golongan, di atas yang lain selain manhaj
nubuwwah.
___________
e-Book ini dipublikasikan kembali dari dua artikel yang dimuat di http://khalya,blogspot.com

1 comment:

  1. Kres, format text-nya masi kacau tu...
    baik'i gih...
    *cttn: jangan nge-net mulu...kerjai tu skripsi ya dek...

    ReplyDelete

Silahkan Diskusi