07 May, 2009

Bencana Ghibah

Penulis:
Al-Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin
Firanda bin ‘Abidin as-Soronji, Lc.
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah)
Disebarkan dalam bentuk Ebook di
Maktabah Abu Salma al-Atsari
http://dear.to/abusalma
Bencana Ghibah

BENCANA GHIBAH
Betapa banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah
Azza wa Jalla dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta,
minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa
senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah.
Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan
merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri
mereka dari ghibah.
Allah Azza wa Jalla benar-benar telah mencela penyakit ghibah
ini dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah
dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh
Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan
suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari ghibah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
 و َ لا يغت ْ ب ب  ع  ض ُ ك  م ب  ع  ضا َأيحِ  ب َأ  ح  د ُ ك  م َأ ْ ن يْأ ُ ك َ ل َل  ح  م َأخِيهِ ميتا َف َ كرِ  هت  م  وه  واتُق  وا اللهَ إِنَّ
اللهَ ت  وا  ب  رحِي  م
Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai
saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka
bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima
taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah Azza wa Jalla telah menyamakan mengghibahi saudara kita
dengan memakan daging saudara (yang dighibahi tadi) yang
telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwajiwa
manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana
kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan
bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian
membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam
keadaan hidup”.1 Memakan bangkai hewan yang sudah busuk
saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada
memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh
‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu:
ع  ن َقيسٍ َقا َ ل : مر  ع  مرو ب  ن العاصِ  عَلى ب  غلٍ ميتٍ, َفَقال:  واللهِ لأَ ْ ن يْأ ُ ك َ ل َأ  ح  د ُ ك  م مِ  ن
َل  حمِ  ه َ ذا (  حتى  يمَلََأ ب ْ طنه)  خير َله مِ  ن َأ ْ ن يْأ ُ ك َ ل َل  ح  م َأخِيهِ (اْل  م  سلِم)
Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu
melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan
keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dar i
kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi
perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging

1 (Taisir karimir Rohman tafsir surat Al-Hujurot :12)

saudaranya (yang muslim)”2. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata :
“..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu
yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun
(yang dimakan tersebut) orang kaf ir atau musuhnya yang
melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah)
saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan
jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam
keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik
dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi
bangkai…” 3
َقا َ ل : ُ كلُّ اْل  م  سلِمِ  عَلى اْل  م  سلِمِ  حرام، دمه  وعِ  ر  ضه  َأنَّ  ر  س  و َ ل اللهِ   ع  ن َأبِ  ي  هريرَة
 وماُله
Dar i Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : Semua muslim terhadap
muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya,
kehormatannya, dan hartanya. (Muslim)
Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu
kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan
kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia yang bisa
dipuji dan dicela.

2 (Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, ber kata
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada
dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)
3 (Bahjatun Nadzirin 3/6)


Definisi ghibah
َقا َ ل : َأت  د ر  و َ ن ما اْلغِيبُة ؟ َقاُل  وا : اللهُ  و  ر  س  وُله َأ  عَل  م،  َأنَّ  ر  س  و َ ل اللهِ   ع  ن َأبِ  ي  هريرَة
َقا َ ل : ذِ ْ كر  ك َأ  خا  ك بِ  ما ي ْ كره، َفقِي َ ل : َأَفرَأي  ت إِ ْ ن َ كا َ ن فِ  ي َأخِ  ي ما َأُق  و ُ ل ؟ َقا َ ل : إِ ْ ن َ كا َ ن فِيهِ
مِا تُق  و ُ ل َفَقدِ ْا ْ غتبته,  و إِ ْ ن َل  م ي ُ ك  ن فِيهِ مِا تُق  و ُ ل َفَق  د ب هته
Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu bahwsanya Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : Tahukah kalian apakah
ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih
mengetahui. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata : “Yaitu
engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh
saudaramu”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditanya :
Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya
? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Kalau memang
sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi
jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau
telah berdusta atasnya”.4
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu:

4 (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)

يُق  و ُ ل : اْلغِيبُة َأ ْ ن ت ْ ذ ُ كر مِ  ن َأخِي  ك ما   ع  ن  ح  ماد  ع  ن إبراهِي  م َقا َ ل : َ كا َ ن اِب  ن م  سع  ودٍ
ت  عَل  م فِيهِ.  وإَِذا ُقْل  ت ما َلي  س فِيهِ َف َ ذا  ك اْلب  هتا ُ ن
Dari Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang
kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa
yang tidak ada pada dir inya berarti itu adalah kedustaan” 5
Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada
pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan
membencinya”. Sama saja apakah yang engkau sebutkan
adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya
atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau
pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya
dihadapan manusia dalam keadaan dia ghoib (tidak hadir).
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib
(saudaramu) dan dia dalam keadaan ghoib (tidak hadir
dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang ghoib
tersebut disamakan dengan mayat, karena si ghoib tidak
mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak
mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si

5 (Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”)

ghoib juga tidak mengetahui ghibah yang telah dilakukan oleh
orang yang mengghibahinya ”6.
Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya,
misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia
tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki
meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”,
“Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia
kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
:   ع  ن َأبِ  ي  ح َ ذيَفَة  ع  ن  عائِ  شَة, َأن  ها َذ َ كرتِ ا  مرَأًة َفَقاَل  ت :إِن ها َقصِيرٌة....َفَقا َ ل النبِ  ي
اِ ْ غتبتِي  ها
Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah)
menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata
:”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata :”Engkau telah
mengghibahi wanita tersebut” 7
 ح  سب  ك مِ  ن  صفِية َ ك َ ذا  و َ ك َ ذاز َقا َ ل ب  ع  ض الر  واُة : ت  عنِ  ي   ع  ن  عائِ  شَة َقاَل  ت : ُقْل  ت لِلنبِ  ي
َقصِيرٌة, َفَقا َ ل : َلَق  د ُقْلتِ َ كلِ  مًة َل  و مزِ  ج  ت بِ  ماءِ اْلب  حرِ َل  مز  جته.

6 (Bahjatun Nadzir in 3/6)
7 (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq :
“Isnadnya shohih”)

Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Cukup bagimu dari Sof iyah ini dan
itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah
pendek”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata :
”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang
seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut
niscaya akan merubahnya” 8
 ع  ن  جرِيرِ بنِ  حازِمٍ َقا َ ل : َذ َ كر اب  ن سِيرِي  ن  ر  ج ً لا َفَقأ َ ل : َذا  ك الر  ج ُ ل الأَ  س  ود. ُث  م َقا َ ل :
َأ  ست  غفِر اللهَ, إِن  ي َأ رانِ  ي َقدِ ا ْ غتبته
Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang
laki-laki kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”.
Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”,
sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi
laki-laki itu”9
Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari
keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia
keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain.
Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia
akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari

8 (yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –
pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin
3/25, dan hadits ini shohih, r iwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad
6/189)
9 (Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”)

muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya
lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”. Adapun
pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia
pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu
orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak
membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti
kepada orang tua”, dan lain-lain. Adapun pada perbuatannya
yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata :
“Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak
ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”,
“Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid
berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin,
dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam
keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat
engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata
:”Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi)
kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain)
karena dia lebih baik dar i pada si fulan (tabib yang pertama)”.
Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah,
menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. 10
Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain,
misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura
bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang

10 (Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748)

selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang
hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam
suatu hadits :
َقاَل  ت :  و  ح َ كي  ت َله إِن  سانا َفَقا َ ل : ما أُحِ  ب َأن  ي  ح َ كي  ت إِن  سانا  و إِنَّ لِ  ي َ ك َ ذا
‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat)
seseorang seseorang pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun berkata :”Saya tidak
suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun)
saya mendapatkan sekian-sekian” 11
Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang
tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata
demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan
mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis
menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang
tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan
lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak
tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena
orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang
‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan
merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan
pahala jika dia berniat demikian.

11 (maksudnya walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih,
riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya
berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ahdemikian-
demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan
atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan
semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah
jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau
jama’ah tertentu. 12
Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang
lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan
mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami
bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain.
Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi
engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah Azza wa
Jalla yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga
Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari memakan harta manusia
dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang
mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti
orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang
jelek.13 Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya
menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat
menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah
menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan
sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.

12 (Bahjatun Nadzirin 3/26)
13 (Bahjatun Nadzirin 3/27)

Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani : “Dan perkataan Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) َأ  خا  ك
(saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil
bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata
Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang
siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani,
dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga)
orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam,
maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”. 14
Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek
kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak
membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam بِ  ما ي ْ كره (dengan apa yang dia banci),
menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi
tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya,
seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila,
maka ini bukanlah ghibah”.15
Berkata Syaikh Salim Al-Hilal :”Jika kita telah mengetahui hal itu
(yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek
namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –

14 (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).
15 (Subulus salam 4/299)

pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah
engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi
orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek)
telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah: و َ لا
تنابز  وا بِالأَْلَقابِ  Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil
dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang
jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang
jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”. 16

16 (Bahjatun Nadzirin 3/47)

Hukum ghibah
: مر  رت َليَلَة ُأ  سرِ  ي بِ  ي  عَلى َق  ومٍ ي  خمِ  ش  وَ ن  َقال : َقا َ ل  ر  س  و ُ ل الله   ع  ن َأنسِ بنِ مالِكٍ
 و  ج  و  ه  ه  م بَِأ َ ظافِرِيهِ  م, َفُقْل  ت : يا جِبرِي ُِ ل م  ن  ه ؤلآءِ؟ َقا َ ل : الَّذِي  ن ي غتاب  و َ ن النا  س,  ويَقع  و َ ن فِ  ي
َأ  عراضِهِ  م
Dari Anas bin Malik  berkata : Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda :”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum
yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan
kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya
Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang
mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatankehormatan
manusia”.
Dalam riwayat yang lain :
: َل  ما  عرِ  ج بِ  ي, مر  ر  ت بَِق  ومٍ َل  ه  م َأ ْ ظَفار مِ  ن ن  حاسٍ ي  خمِ  ش  و َ ن  و  ج  و  ه  ه  م  و  َقا َ ل  ر  س  و ُ ل الله
 ص  د  و ر  ه  م َفُقْل  ت : م  ن  ه ؤلآء يا جِبرِي ُِ ل؟ َقا َ ل :  ه  ؤلآء الَّذِي  ن يْأ ُ كُل  و َ ن ُل  ح  وم النا  س  ويَقع  و َ ن فِ  ي
َأ  عراضِهِ  م
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : Ketika aku
dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki

kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajahwajah
mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :
”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan
mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.17
Hukum ghibah adalah harom berdasarkan Al-Kitab dan As-
Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun terjadi khilaf diantara
para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk
dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya
ghibah termsuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis
Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah
termasuk dosa kecil.
Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas
menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka
berdua”.
Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh aneh orang yang
menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia)
sebagai dosa besar (tetapi) tidak menganggap bahwasanya
ghibah juga adalah dosa besar, padahal Allah menempatkan
ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia. Dan

17 (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-
Huwaini : Isnadnya shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)

hadits-hadits yang memperingatkan ghibah sangat banyak
sekali yang menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah.”18
Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12)
ada peringatan keras terhadap ghibah dan bahwasanya ghibah
termasuk dosa-dosa besar karena diserupakan dengan
memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan
daging bangkai) termasuk dosa besar”. 19
Alasan mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa
kecil diantaranya perkataan mereka :”Kalau seandainya ghibah
itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu
menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali
hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini
adalah kesulitan yang sangat besar”.
Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya
suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya
tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa
kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya
kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang.
Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatankemaksiatan
(termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana
sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.

18 (Subulus Salam 4/299)
19 (Taisir karimir Rohman, tafsir surat Al-Hujurot 12)

Hukum mendengarkan ghibah
Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah
bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang
yang mengghibahi, diharamkan juga bagi orang yang
mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa
saja yang mendengar seseorang mulai mengghibahi
(saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak
takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada
orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan
hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika
memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau
dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan
pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk
melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah
bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya
ingin pembicaraan ghibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu
adalah kemunaf ikan yang tidak bisa membebaskan dia dar i
dosa. Dia harus membenci ghibah tersebut dengan hatinya
(agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak
mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah
mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak
memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut,
maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’
(mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang
dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Azza wa
Jalla dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau
dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri
dari mendengarkan ghibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa
baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar
namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang
didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu
jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa
meninggalkan majelis ghibah itu –pent). Namun jika (beberapa
waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan
majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka
wajib baginya untuk meninggalkan majelis”20. Allah Azza wa
Jalla berfirman :
 وإَذا  رَأي  ت الَّذِي  ن ي  خ  و  ض  و َ ن فِ  ي آياتِنا َفَأ  عرِض  عن  ه  م  حتى ي  خ  و  ض  وا فِ  ي  حدِيثٍ َ غيرِهِ,  و إِم
ينسِين ُ ك  م ال  شي َ طا ُ ن َف َ لا ت ْ قع  د ب  ع  د الذِ ْ كرِ م  ع اْلَق  ومِ الظَّالِمِي  ن

20 (Bahjatun Nadzir in 3/29,30)

Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat
Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka
mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian
dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah
kalian ingat bersama kaum yang dzolim. (Al-An’am 68)
Benarlah perkataan seorang penyair…
 و  س  مع  ك  ص  ن  ع  ن  س  ماعِ اْلَقبِيحِ َ ك  ص  ونِ اللِّ  سانِ  عنِ الن ْ طقِ بِه
َفإِن  ك عِن  د  س  ماعِ اْلَقبِيحِ رِي  ك لَِقائِلِهِ َفانتبِه
Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka
waspadalah
Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang
yang beriman, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
 وإَِذا  سمِع  وا اللَّ غ  و َأ  عر  ض  وا  عنه
Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak
bermanfaat) mereka berpaling darinya. (Al-Qosos : 55)
 والَّذِي  ن  ه  م  عنِ اللَّ غوِ م  عرِضِي  ن

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun :3)
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar
saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah ghibah
tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya
tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam:
َقا َ ل : م  ن  رد  ع  ن عِ  رضِ َأخِيهِ,  رد اللهُ  وجِ  هه النا ر   عنِ النبِ  ي   ع  ن َأبِ  ي ال  د  رداءِ
Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda : Siapa yang mempertahankan
kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka
Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.21
Dan demikinlah pengamalan para salaf ketika ada saudaranya
yang dighibahi mereka membelanya, sebagaimana dalam
hadits-hadits berikut :
ي  صلِّي َفَقا َ ل : َأي  ن ملِ  ك ب  ن ال  د  خ  شمِ؟ َفَقا َ ل  َقا َ ل : َقام النبِ  ي   ع  ن عِتبا َ ن بنِ مالِكٍ
: َ لا تُق ْ ل َذالِ  ك, َأ َ لا تراه َق  د َقا َ ل   ر  ج ٌ ل : َذالِ  ك منافِ  ق, َ لا يحِ  ب اللهَ  و  ر  س  وَله, َفَقا َ ل النبِ  ي
َ لا إِلِه إِلاَّ اللهُ يرِي د بِ َ ذالِ  ك  و  جه اللهِ  وإِنَّ اللهَ َق  د  حرم  علَى الَّارِ م  ن َقا َ ل َ لا إِلِه إِلاَّ اللهُ يبتغِ  ي
بِ َ ذالِ  ك  و  جه اللهِ

21 (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih
atau hasan”)

Dar ‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam menegakkan sholat, lalu (setelah
selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah Malik bin
Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab :”Ia
munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata : Janganlah engkau berkata
demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la
ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah
mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la
ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah (Bukhori dan Muslim)
 و  ه  و  جالِ  س فِ  ي اْلَق  ومِ بِتب  و  ك : ما َفع َ ل َ ك  ع  ب ب  ن  َقا َ ل : َقا َ ل النبِ  ي   ع  ن َ ك  عبِ بنِ مالِ  ك
مالِكٍ؟ َفَقا َ ل  ر  ج ٌ ل مِ  ن بنِى  سَل  مَة : يا  ر  س  و َ ل اللهِ  حب  سه ب  ر داه  و الن َ ظ ر فِ  ي عِ ْ طَفيهِ. َفَقا َ ل َله م عا ُذ ب  ن
 : بِْئ  س ما ُقْل  ت,  واللهِ يا  ر  س  و َ ل اللهِ ما  علِ  منا  عَليهِ إِلاَّ  خي را, َف  س َ ك  ت  ر  س  و ُ ل اللهِ   جبلٍ
Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah sampai di Tabuk, dan dia
sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan Ka’ab ?”, maka
ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai
Rosulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”.
Lalu Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Buruk sekali
perkataanmu itu, demi Allah wahai Rosulullah, kami tidak
mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”.
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun diam. (Bukhori dan
Muslim)

Bertaubat dari ghibah
Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia
dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia
dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para
ulama berselisih. Diantara mereka ada yang berkata
(bahwasanya) engkau (yang mengghibah) harus datang ke dia
(yang dighibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan
sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan
menusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan
merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya)
mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi
ada perincian : Jika yang dighibahi telah mengetahui bahwa
engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang
kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu.
Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau
mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun
untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di
tempat-tempat engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya
kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan.
Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika
yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah
mengghibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan
kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya dan
engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah
ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadits :
َ كفَّا رُة منِ ا ْ غتبته َأ ْ ن ت  ست  غفِ ر َله
(Kafarohnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon
ampunan untuknya)22
Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah
disyaratkan dia (yang mengghibah) meminta penghalalan
(perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi.
Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut
bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang
yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia
belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah)
hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang
dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela
orang itu…”23

22 (Syarah Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya
dalam kitab Ash-Shomt no 291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata As-Subki
:”Dalam sanad hadits ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah
fiqh telah menolak (isi) hadits ini karena dia adalah (menyangkut) hak seorang manusia
maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas diri, oleh karena itu dia (si pengghibah)
harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi
telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka
berkata sebagian ulama : “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang
dighibahi”).
23 (Tafsir Ibnu Katsir 4/276)

Cara menghindarkan diri dari ghibah
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa
yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa
Jalla berfirman :
ما يْلفِ ُ ظ مِ  ن َق  ولٍ إِلاَّ َل  ديهِ  رقِي  ب  عتِي د
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Q 18)
 و َ لا ت ْ ق  ف ما َلي  س َل  ك بِهِ عِْل  م إِنَّ ال  س  م  ع  واْلب  صر واْلُف  ؤاد ُ كلُّ ُأ  وَلئِ  ك َ كا َ ن  عنه م  سُئ  و ً لا
Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak
mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran, penglihatan, dan
hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) (Al-
Isro’ 36)
Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa
berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang
akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang
lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan
termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam : “Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke
dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka?”
Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
َأ ْ كَثر ما ي  دخِ ُ ل النا  س النا ر الأَ  ج  وَفانِ : الَف  م و اْلَفر  ج
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka
adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.24
يُق  و ُ ل : إِنَّ اْلعب  د َليت َ كلَّ  م بِاْل َ كلِ  مة مِ  ن  س  خطِ اللهِ َ لا  َأنه  سمِ  ع النبِ  ي   ع  ن َأبِ  ي  هريرَة
يْلقِ  ي َل  ها با ً لا ي  هوِ  ي بِ ها فِ  ي  ج هن م
Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda
:”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu
kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak
menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka
jahannam gara-gara kalimat itu”. (Bukhori)
Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah bersabda :
: م  ن ي  ض  م  ن لِ  ي ما بي  ن لِ  حييهِ  و ما بي  ن  َقا َ ل : َقا َ ل  ر  س  و ُ ل الله   ع  ن  س  هلٍ بنِ  س  عدٍ
رِ  جَليهِ َأ  ض  م  ن َله اْل  جنَة

24 (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-
Hilali : “Isnadnya hasan”)

Dari Sahl bin Sa’d  dia berkata : Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku
(keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya)
dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya)
maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)
Berkata Imam Nawawi : “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah
seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan
keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak
ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir
manusia” 25
Berkata Imam Syafi’i :
اِ  حَف ْ ظ لِ  سان  ك َأي  ها الإِن  سا ُ ن َ لا يْل  د َ غن  ك َفإِنَّه ُث  عبا ٌ ن
َ ك  م فِ  ي اْل  مَقايِرِ مِ  ن َقتِيلِ لِ  سانِهِ َ كان  ت ت  ها  ب لَِقاَئه ال  ش  جعا ُ ن
Jagalah lisanmu wahai manusia
Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya
dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu
dengannya

25 (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya
ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang
tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan
ghibah itu” 26
Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana
disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana
tergabung dalam suatu syair :
الذَّم َلي  س بِغِيبةٍٍ فِ  ي سِتَّةٍ مت َ ظلِّطٍ  و مُعرفٍ  و م  ح َِّ ذرٍ
 و لِ  م ْ ظهِرٍ فِسًْقا  و م  ست ْ فتٍ  وم  ن َ طَل  ب الإِ  عانةِ فِ  ي إِ زاَلةِ من َ كرٍ
Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang
memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta
fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan
kemungkaran

26 (Bahjatun Nadzirin 3/33).

Pertama : Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang
teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan
yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk
mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh)
berkata : “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”.
Dalilnya firman Allah :
َ لا يحِ  ب اللهُ اْلج  هر بِال  س  وءِ مِ  ن اْلَق  ولِ إِلاَّ مِ  ن ُ ظلِ  م
Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan)
dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya. (An-
Nisa’ 148).
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa
bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang
mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada
manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang
yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal
itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya
manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang
yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia
nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan
bantuan mereka.27

27 Ini adalah per kataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu
bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang
didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun
mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak

Kedua : Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan
mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka
dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan
kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan
telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya
itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah
sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya
tidak demikian maka hal ini adalah harom.
Ketiga : Meminta fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang
mufti : “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku,
atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia
mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari
hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari
kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih
hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si
mufti) : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau
seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka
dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan
orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh
sebagaimana dalam hadits Hindun.
boleh karena ber tentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih
yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot.
(Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

: إِنَّ َأبا  سْ فيا َ ن  ر  ج ٌ ل  شحِي  ح  وَلي  س   ع  ن  عائِ  شَة َقاَل  ت : قَاَل  ت هِن  د ا  مرَأُة َأبِ  ي  سْ فيا َ ن لِلنبِ  ي
ي  عطِينِ  ي ما ي ْ كفِينِ  ي  و  وَلدِِ  ي إِلاَّ ما َأ  خ ْ ذ  ت مِنه  و ه و َ لا ي  عَل  م, َقا َ ل :  خذِ  ي ما ي ْ كفِيكِ  و  وَلدِكِ
بِاْل  م  عر  وفِ
Dari ‘Aisyah berkata :Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:”Sesungguhnya Abu Sufyan
seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku
dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar
pengetahuannya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata :
“Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu
dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan
terlalu sedikit)”. 28
Keempat : Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal
ini diantaranya :
Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa
ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan
wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh
orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk
menjaga keutuhan syari’at.29 Seperti perkataan ahlul hadits :”Si

28 (Riwayat Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)

29 Sebagaimana yang dilakukan oelh para salaf ketika memperingatkan umat dari
bahayanya para ahlul bid’ah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan
wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin :”..Seper ti para imam
kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang
menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan ibadah- ibadah yang

fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul
hafits”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika
musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa
dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang
dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
َفُقْل  ت : إِنَّ َأبا اْل  ج  همِ  و معاوِيَة  خ َ طبانِ, َفَقا َ ل   ع  ن َفاطِ  مَة بِنتِ َقيسٍ َقاَل  ت : َأتي  ت النبِ  ي
: َأما معاوِيُة َف  ص  عُل  و  ك َ لا ما َ ل َله. وَأما َأب  وا اْل  ج  همِ َف َ لا ي  ض  ع اْلع  صا  ع  ن   ر  س  و ُ ل الله
 عاتِقِهِ.(  وفِ  ي رِ  وايةٍ لِ  م  سلِمٍ :  وَأما َأب  وا اْل  ج  همِ َف  ضرا  ب لِلن  ساءِ)
menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan
memper ingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum
muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad :.”Seorang laki-laki puasa dan
sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan)
ahlul bid’ah ?”. Maka beliau menjawab :” Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka
hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia
membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin,
maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad
telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum
bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada
agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan
permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum
muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk
menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang
kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari
ahlul harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah
merusak hati dan agama yang ( telah ter tanam) dalam hati kecuali hanya belakangan.
Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-fatawa
26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)

Fatimah binti Qois berkata : Saya datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan berkata :Sesungguhnya Abul
Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang
miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan
tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam
riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm
maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)” 30
Kelima : Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terangterangan
menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer,
mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya.
Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
 ع  ن  عائِ  شَة َأنَّ  ر  ج ً لا ا  ستْأَذ َ ن  عَلى النبِ  ي َفَقا َ ل اْئ َ ذن  وا َله, بِْئ  س َأ  خ  وا اْلعشِيرةِ
‘Aisyah berkata : Seseorang datang minta idzin kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda :”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat
orang yang ditengah kaumnya”. 31

30 Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :( ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari
bahunya)
31 (Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini
tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan
kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya)
berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak
boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah

Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang
tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang
membolehkannya.32
Keenam : Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan
suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj
(si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka
boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya
dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain
untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat
mereka) maka cara tersebut lebih baik.
melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui
hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya
goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat
Bahjatun Nadzirin 3/46)

32 (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan :Jika yang tujuan menyebutkan aibaib
orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya,
maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari
bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam
bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah
kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang
menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang
‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent),
maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu
haromnya ghibah.
2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena
itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya
(seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh berluas-luas
terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah).
Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga
dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah
dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang
melampaui batas. 33
=== Selesai ===
Ibnu ‘Abidin as-Soronji

33 (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)

Maroji’ :
1. Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu
Ishaq Al-Huwainy
2. Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab
Taubat
3. Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4. Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh
Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
5. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6. Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi),
karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
7. Tuhfatul Ahwadzi
8. Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul
Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
9. Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min
masawiil akhlaq.
10. Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
11. Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid

No comments:

Post a Comment

Silahkan Diskusi